Berikut adalah sekilas sebuah kenangan HW yang diambil dari arsip berita Kompas
SEWAKTU pembawa acara pembukaan Muktamar Ke-44 Muhammadiyah mengumumkan dimulainya acara defile di Stadion Utama Senayan, Jakarta, Sabtu (8/7), Nurfan Soenarja (68) dengan bersemangat melangkah. Setangan leher berwarna hijau bergaris-garis putih melingkari leher, tongkat bercabang dua "menyangga" pinggang, dan langkahnya tegap ke depan.
Dengan berseragam baju kehijauan dan celana "tiga per empat" - karena hanya sampai sedikit di bawah lutut-Nurfan merasa kembali. Ia merasa hidup kembali, dan terbayang puluhan tahun lalu saat masih menjadi anggota Hizbul Wathan (HW), organisasi kepanduan di gerakan Muhammadiyah.
Akan tetapi, semangat saja kadang-kadang tak cukup. Seusai satu putaran berjalan, Nurfan cepat menepi, keluar dari barisan. Nafasnya tersengal-sengal dan keringat membasahi seluruh mukanya. "Saya sudah tidak kuat lagi jalan jauh. Sudah tua," ungkap bapak sembilan anak itu, seperti minta dimaklumi.
Sekalipun demikian, dia tampak bangga bisa meramaikan muktamar. Sebab, inilah untuk pertama kalinya setelah hampir 39 tahun pandu HW meramaikan perhelatan di lingkungan Muhammadiyah. Sejak tahun 1961, HW bersama dengan kepanduan lain dilebur ke dalam Praja Muda Karana (Pramuka) oleh Presiden Soekarno.
***
NURFAN tidak sendirian meramaikan Muktamar Muhammadiyah. Hadir pula ratusan pandu HW wredha (tua) dari seluruh Indonesia. Paling muda, mereka berumur sekitar 50 tahun. Namun, tak sedikit yang telah berusia di atas 60 tahun, bahkan seperti Ibrahim Dairy dari Kudus (Jawa Tengah) kini sudah memasuki usia 75 tahun.
Dengan mengikuti Muktamar Muhammadiyah, papar Syamsuddin (54)-anggota HW dari Semarang (Jateng)-mereka tidak sekadar ingin bernostalgia. Tetapi, penampilan pandu sepuh (tua) itu juga merupakan bagian dari usaha untuk membangkitkan lagi kepanduan di lingkungan Muhammadiyah, maupun organisasi lain. Karena kepramukaan kini dipandang tidak lagi memadai sebagai bagian dari pembinaan generasi muda.
"Saat HW dan gerakan kepanduan lain dibubarkan tahun 1961, saya tidak mau masuk Pramuka. Saya lebih sreg di HW," papar Nurfan.
Syamsuddin pun merasa lebih enjoy bergabung dengan pandu HW dan bukan kepramukaan. Karena HW mengajarkan betul kesederhanaan seorang pandu.
Ia menyebutkan, Pandu HW mengajarkan bertahan hidup dengan alat yang terbatas dan praktis. Celana seragam Pandu HW memang dibuat tak panjang, tetapi pada ujungnya ada kancing yang dapat dibuka. Apabila kancing itu dibuka, celana "berubah" menjadi sarung untuk sholat. Topi terbuat dari anyaman bambu, yang dapat bermanfaat untuk mencuci beras. Sedangkan tongkat bercabang dua yang selalu dibawa, selain untuk menyangga tenda, juga bisa digunakan untuk gantungan penjerang air dan penanak nasi.
"Kami ingin mengembangkan kembali Pandu HW. Karena Pandu HW pun mengajarkan cinta pada Tanah Air. Apalagi, kami sekarang sudah tua-tua. Kalau Pandu HW tak diregenerasi, nanti tinggal sejarah," ujar Syamsuddin lagi.
***
MEMANG tidak terlalu banyak publikasi saat Pandu HW dilahirkan kembali dalam sebuah deklarasi di Stadion Kridosono, Yogyakarta, 18 Desember 1999. Padahal, ini tonggak sejarah kebangkitan kepanduan nonpemerintah yang bisa mengubah bentuk kepramukaan selama ini. Tak mustahil, Pramuka yang telah berdiri sejak 1961 itu dapat terdesak ke pinggir, tersisih serbuan kepanduan-kepanduan "swasta" yang akan bermunculan lebih banyak lagi.
Deklarasi kelahiran kembali Pandu HW kala itu dihadiri, antara lain mantan Ketua PP Muhammadiyah yang juga Ketua MPR Amien Rais, Wakil Ketua MPR Letjen (TNI) Hari Sabarno, Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin, Letjen AM Hendripriyono, dan mantan Komandan Jenderal Korps Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (Kopassus) Mayjen Muchdi PR. Mereka memang alumnus Pandu HW, yang beberapa tahun lamanya harus terkubur, karena pelumpuhan kemajemukan secara sistemis oleh Presiden Soekarno dengan Keppres No. 238/1961. Dengan Keppres ini, hanya Pramuka sajalah yang boleh hidup di Indonesia.
Deklarasi HW berikutnya memang sudah tak terbendung. Misalnya, di halaman Balai Kota Surabaya 25 Juni lalu, berkumpul 2.500 orang mulai usia belasan tahun sampai di atas 70-an tahun, mendeklarasikan HW Kwartil Wilayah (Kwarwil) Jatim. Muktamar Ke-44 Muhammadiyah pun seakan mempertegas kembali kebangkitan Pandu HW tersebut.
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Syafi'i Maarif dalam pidato iftithah waktu membuka muktamar sempat menyinggung kelahiran kembali HW. "Gerakan kepanduan Muhammadiyah (HW) yang sejak 1961 diharuskan bergabung ke dalam Pramuka-yang ternyata tidak efektif bagi pembentukan watak seseorang-kini telah bangkit kembali. Kini bendera HW telah berkibar dan terus akan berkibar dalam usaha membentuk anak muda Indonesia yang berwatak tangguh dan berakhlak mulia," katanya, disambut applaus ribuan muktamirin.
Laporan pertanggungjawaban PP Muhammdiyah yang dibacakan Watik Pratiknya menyebut bangkitnya HW dengan Deklarasi Yogyakarta bukan sekadar nostalgia masa lalu, melainkan untuk mengoreksi iklim kehidupan monolitik yang dibudayakan selama empat dasawarsa terakhir. "Dengan kebangkitan HW, Muhammadiyah juga mengajak organisasi kemasyarakatan yang lain untuk menghidupkan lagi kepanduan mereka-atau mendirikan kepanduan baru-sebagai wujud koreksi terhadap iklim kehidupan sosial yang monolitik tersebut," paparnya.
Moreskin Nature Cosmetic Skin Care NASA
5 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar